PENDAHULUAN
Gangguan metabolisme glukosa merupakan masalah endokrin dan penyakit metabolisme paling sering di Amerika, insiden Diabetis Mellitus(DM) mencapai 5% dari seluruh populasi Amerika1,2.
Di Indonesia, dilaporkan insiden DM antara 1,5 sampai 2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun3, 4, 5. Prevalensi DM berbeda-beda menurut ras dan negara, tertinggi di Eropa utara, terendah di Asia tenggara dan Australia 6.
DM dibedakan menjadi dua macam: IDDM (DM Type I) dan NIDDM (DM Type II)2. Belum ada keseragaman definisi yang disepakati7. Te oh membagi DM kedalam 4 subgroup6. Harisson membagi DM menjadi 2 group besar : primer dan sekunder 2. Christine (1995) membagi DM dalam 3 subgroup yaitu: IDDM, NIDDM dan DM type lain. Menurut Perkeni, dalam konsensus pengelolaan DM 1998, DM dibedakan menjadi DM type I, DM type II, DM type lain dan DM Gestasional 3,4.
Pada laporan kasus ini akan dibahas penatalaksanaan seorang penderita ketoasidosis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Sardjito.
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Prevalensi DM di Indonesia 1,5 sampai 2,3% pada penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun3,4. Di Manado, prevalensi DM mencapai 6,1% 3,4. Penelitian prevalensi DM di Jakarta dan Ujung Pandang menunjukkan adanya peningkatan prevalensi 1,7% pada 1982 menjadi 5,7 pada 1993 (Jakarta), 1,5% pada 1981 menjadi 2,9% pada 1994 (Ujung Pandang)3,4. Mc Carthy dan Zinimef memperkirakan jumlah penderita DM type II di Asean pada tahun 1995 8,5 juta menjadi 12,3 juta pada tahun 2000 1.
IDDM bervariasi baik antar negara maupun di dalam satu negara 7. Tertinggi di Finlandia: 43 per 100.000 penduduk dan terendah di Jepang: 2 per 100.000. penduduk. Insidensi IDDM menurut umur mempunyai dua puncak insidensi pada usia 5 sampai 6 tahun dan 11 tahun 7. Peneliti lain mengatakan 9 –11 tahun. Ketoasidosis berkisar antara 25% dari penderita IDDM 6.
Klasifikasi DM
Klasifikasi DM yang dipakai di Indonesia menurut konsensus pengelolaan DM nasional Perkeni 1998 3, dan konsensus nasional pengelolaan DM type I di Indonesia 7, adalah klasifikasi yang sesuai dengan klasifikasi dari American Diabetic Associations 19983,7:
I. DM type I (Destruksi sel b) :
a. Autoimun
b. Idiopatik
II. DM type II
III. DM type lain :
a. Genetic defect of b cell pancreas
b. Genetic defect in …….
c. Dissease of the exocrene pancreas
d. Endocrenopaty
e. Drug and chemical induced
f. Infection
g. Uncommon form of immune-mediated dissease
h. Other genetic syndrome sometimes associated with ….
IV. Gertational Diabetis Mellitus
Fisiologi
Pada keadaan normal, kadar glukosa darah dikontrol dalam range yang sangat sempit antara 80 - 90 mg/dl orang puasa sebelum sarapan pagi 8. Kadar gula naik menjadi 120 – 140 mg/dl satu jam pertama segera setelah makan, dengan mekanisme feed back, kadar gula darah dikembalikan dengan cepat pada kadar normal, biasanya dalam 2 jam 5.
Mekanisme kontrol gula darah secara singkat sebagai berikut:
1. Hati berfungsi sebagai buffer gula darah yang penting. Bila kadar gula darah tinggi, diikuti kenaikan sekresi insulin. 2/3 dari glukosa yang diabsorpsi oleh GIT segera disimpan di hati sebagai glikogen. Bila kadar gula darah dan insulin turun, hati melepas gula dari cadangan 8. Ini menerangkan, orang dengan kelainan hati sangat sulit mengontrol kadar gula darah8.
2. Insulin dan glucagon diketahui berperan penting melalui system feed back untuk mempertahankan kadar gula darah normal8.
3. Pada hipoglikemi berat mempunyai efek langsung pada hipotalamus akan memicu system syaraf simpatis sehingga terjadi pelepasan epinephrine oleh glandula adrenal untuk tetap melepas glukosa dari hati8.
4. Dalam beberapa jam atau hari terjadi pelepasan hormon pertumbuhan dan cortisol sebagai respon terhadap prolong hipoglikemi dan keduanya menyebabkan penurunan penggunaan glukosa oleh sel tubuh dan berubah menjadi penggunaan lemak yang lebih besar untuk mengembalikan kadar gula kembali normal8.
Insulin mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjaga metabolisme yang normal dengan cara menggunakan dan menyimpan energi yang berasal dari makanan1. Di jaringan lemak, insulin menstimulasi sintesa trigliserida dan gliserol menjadi asam lemak lengkap dan mencegah lipolysis 1. Di hati menaikkan glikolysis untuk sintesa glikogen dan asam lemak, mencegah glikogenolysis dan glukoneogenesis serta ketogenesis1,4. Di dalam otot, insulin menstimulasi uptake asam amino dan glukosa untuk sintesa protein dan glikogen 1.
Patogenesis
Ada 3 hal yang berperanan penting terjadinya diabetis ketoasidosis(DKA) 1,6,9,10:
1. Defisiensi insulin (genbetic subseptibility autoimunity, enviromental)
2. Peningkatan counter regulatory hormone
3. Dehidrasi akibat gangguan reabsorpsi pada tubulus renalis.
Hubungan antar 3 hal tersebut tergambar dalam gambar 1.
Patofisiologi
Penurunan produksi dan pelepasan insulin dan/atau penurunan insulin pada target organ adalah suatu hal yang “kritis” untuk berkembang menjadi diabetik yang manifes 1,2,6,8,9,10. Penurunan kadar insulin menyebabkan penurunan penggunaan gula oleh jaringa perifer 4,10. Penurunan kadar insulin biasanya diikuti dengan kenaikan kadar glucagon dan hormon-hormon counter regulasi 9,10. Penurunan rasio insulin glucagon menyebabkan kenaikan produksi gula oleh hati 10.
Hiperglikemi
Hampir semua penelitian menunjukkan adanya defisiensi insulin pada DKA 9. Pada orang noirmal, kadar insulin bila diberi glukosa meningkat sampa 5-10 kali dari kadar puasa (5-15 mU/ml menjadi 100 mU/ml)9. Pada pasien dengan DKA yang tidak diketahui adanya riwayat DM, kadar insulin tidak pernah melebihi 15 mU/ml 9.
Defisiensi insulin akan menyebabkan kenaikan glikenolysis dan glukoneogernesis di hati serta penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer 9,10. (Tabel 1)
Tabel 1. Kelainan hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme pada DM 9,10
Gangguan Metabolisme | Defisiensi insulin | Ekses Glucagon | |
1 | Penurunan penggunaan glukosa | ++++ | 0 |
2 | Produksi glukosa naik | + | ++++ |
3 | Kenaikan pelepasan asam amino | ++++ | 0 |
4 | Kenaikan lipolisis | ++++ | + (?) |
5 | Kenaikan ketogenesis | + (?) | ++++ |
Defisiensi juga akan menyebabkan peningkatan pelepasan hormon-hormon counter regulasi. (Tabel 2)10.
Tabel 2: Efek hormon counter regulasi terhadap metabolisme jaringan
Lipolysis | Penggunaan glukosa otot | Produksi gula hati | |
Katekolamin | | ¯ | |
ACTH | | (-) | (-) |
Kortisol | | ¯ | |
Hormon pertumbuhan | | ¯ | |
b-Indorphin | (-) | (-) | (-) |
Vasopresin | (-) | (-) | |
Ketonemia
Pada penderita DM type I tubuh menjadi sangat tergantuyng pada lemak untuk memenuhi kebutuhan energi8. di tubuh terjadi pemecahan lemak besar – besaran menjadi asam lamak bebas, di hati asam lemak bebas diubah menjadi benda keton 11. Ada tiga jenis benda keton yang terbentuk padfa DKA : b-hidroxy butirat, asam aseto asetat dan aseton. Pada keadaan septik dan syok ( hipoksia) lebih banyak terbentuk b- hydroxy butirat 20 kali lebih tinggi dibanding aseto asetatr.1 hal ini menyebabkan negatif palsu pada pemeriksaan benda keton1,10.
Asam basa
Kadar asam b-hidroxy butirat dan asam aseto asetat penyakit meningkat lebih dari 10 mEq/l, hal ini menyebabkan peningkatan asam di dalam darah (asidosis) 11.
Efek sekunder ekskresi benda keton melalui urin diikuti oleh pengeluaran Na+, sehingga kadar Na+ ekstraseluler ¯. Penurunan kadar Na+ akan diganti oleh kenaikan kadar ion H+ sehingga menambah asidosis yang terjadi8,11.
Asidosis akan menyebabkan kematian dalam beberapa jam bila tidak diberi terapi yang adekuat pada pH darah dibawah 7,0 8,10,11.
Elektrolit dan Dehidrasi
Glukosa tidak bisa secara bebas melewati dinding sel. Hal ini akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam sel, sehingga akan terjadi perpindahan air dari intra sel ke ekstra sel8.
Hiperosmoler pada urin menyebabkan kegagalan fungsi reabsorpsi tubulus ginjal, sehingga menyebabkan kehilangan air dalam jumlah besar, akhirnya terjadi juga dehidrasi ekstra seluler. Akibat lebih lanjut dari kehilangan sejumlah besar air, akan menyebabkan shock yang akhirnya terjadi renal shutdown 11. Kehilangan air ini mencapai 100 ml/kg BB 11.
Selain air, elektrolit (Na+, K+, Mg+2 dan P+2) juga ikut hilang. Kehilangan Na+ sampai dengan 7-10 mEq/kg BB. K+ biasanya normal, kehilangan K+ biasanya terjadi karena muntah-muntah, kaliuresis serta intake yang kurang. Mg+2 biasanya juga turun antara 0,5 sampai 1 mEq /kg BB, tapi makna klinisnya belum banyak diketahui1.
Kriteria Diagnosa
Belum ada kerspakatan mengenai kriteria diagnosa DKA diantara para ahli. Namun ada konsensus diantara peneliti yang menyepakati kriteria dignosa DKA yaitu: GDR> 250mg/dl, PH <7,3; bikarbonat < 15mEq/l denagan atau tanpa ketonemi/ ketonuria9.
Kadang ada kesulitan untuk membedakan suatau koma DKA dengan HONK. Dari beberapa gejala yang muncul dai DKA dan HONK mungkin dapat dipakai sebagai pedoman untuk me4mbedakan suatu koma DKA dengan HONK tabel 39,12.
Tabel 3 perbedaan DKA dan HONK
Gejala | DKA | HONK |
Umur Riwayat DM Prodromal Asidosis Dehidrasi ¯ Kesadaran GDR | Semua umur DM baru/ IDDM Bererapa hari ++++ ++ ++ ++ | Tua > 40th IDDM / OAD Beberapa minggu 0/+ ++++ ++++ ++++ |
Penatalaksanaan DKA
Pasien dengan DKA yang tiba diUGD harus segera ditegakkan diagnosanya dari pemeriksaan physik dan klinis yang ada13. Kemudian dengan cepat dilakukan anamnesa riwayat DM keluarga, riwyat penghentian insulin. Pemeriksaan physik cepat dan kemungkinan faktor pencetus9. Keterlambatan di UGD untuk menunggu hasil pemeriksaan laboraturium, akan menunda ke ICU menambah mnorbiditas dan mortalitas13.
Penatalaksanaan penderita DKA pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi beberapa kategori sebagai berikut : monitoring, penggantian cairan, pemberian insulin, penggantian elektrolit, dan asam basa1,6,12,13.
Monitoring
Pengukuran tekanan vena sentral (CVP) atau kalau perlu tekanan penutupan arteri pulamonalis (PAWP) sangat diperlukan untuk menilai kecukupan pemberian cairan yang dilakukan. Penggantian cairan terutama untuk pasien syok, tua, atau pasien dengan kelainan jantung6.12,13.
Kateterisasi urin untuk menilai urin urin out-put sangat penting, terutama untuk balans cairan, untuk menilai bahwa pasien tidak dalam fase gagal ginjal, dan untuk menilai respon tehadap terapi cairan yang diberikan13. Meskipun keluaran urin tidak relevan untuk indikator, karena dipengaruhi effek diuresis osmotik12.
Naso gastrik tube perlu dipasang untuk mencegah aspirasi, terutama untuk pasen dalam keadaan koma13.
Cairan
Rehidrasi memainkan peranan penting pada penatalaksanaan penderita DKA, karena therapi cairan dapat secara langsung menurunkan kadar gula darah lebih dari 20% dengan caramemeperbaiki perfusi renal akan memperbesar kehilangan glukosa lewat urin1.
Jenis cairan untuk rehidrasi sangat tergantung dari kondisi klisnis pasien saat datang 1.
Ø NaCL 0,9% bila hipotensi dan kadar Na+ < 150 mEq/l.
Ø D5 1/2S bila tidak terjadi hipotensi dan kadar Na+ > 150 mEq/l
Ø Tambahkan D5% /D10% bila kadar gula < 250 mg/dl
Ø Bila dalam keadaan syok untuk mengisi volume intra vaskuler berikan 300-500cc koloid isotonik isoonkotik, kemudian diikuti D5% tetesan lambat 200-300 cc/jam6,12. Tapi efek dari pemberian DKA yang tidak terkontrol belum banyak diketahui6.
Kecepatan pemberian cairan 1000 cc/jam pada 2 jam I, kemudian diikuti 500cc/jam sampai 4jam I, dilanjutkan 250 - 300 cc/jam sampai 8jam I. Bila perlu ditambah bolus 200 – 300 cc1,6.
Koreksi Hiperglikemi ( insulin)
Koreksi hiperglikemi pada DKA dapat terjadi melalui mekanisme sebagai berikut12 :
Ø Pengenceran glukosa ekstrasel yang diakibatkan oleh penggantian cairan selama terapi
Ø Kenaikan kehilangan glukosa lewat urin akibat perbaikan perfusi renal setelah ekspansi intravaskuler
Ø Hambatan produksi glukosa oleh hepar sebagai effek insulin
Ø Peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer akibat teraphi insulin
Dosis pemberian insulin dan cara pemberian masih kontroversial1,2,12. Dosis besar pemberian insulin dosis besar karena diduga ada resistensi terhadap insulin pada DKA14. Atau dosis kecil insulin kontinyu intravena tampaknya lebih sesuai1,12,14.
Pemberian insulin dengan cara konvensional dosis awal 10 – 25 UI IV diikuti pemberiam 10 – 25 subkutan14, bila pasien belum pernah mendapat teraphi insulin atau pasien tidak sadar dosis pemberian dinaikan 2 kali14. Dosis berikutnya sesuai dengan kadar gula pada pemeriksaan14. Pemberian cara ini tidak efektif karena ada gangguan absorsi di otot maupun subkutis, dan cara ini berhubungan dengan tingginya insidensi hipokalemia1,6.
Pemberian insulin kontinyu dosis rendah, dosis awal diberikan bolus 0,1 – 0,5 UI/KgBB/jam, kemudian diikuti 0,1UI/KgBB/jam1,6,14. Setelah infus insulin dimulai guladarah harus doiperiksa tiap jam1,6,14. Bila kadar gula kurang dari 150 mg/dl dosis insulin diturunkan setengahnya, tidak boleh dihentikan kemudian ditambahkan infus D5%1,6,14.
Teraphi Bicarbonat
Penggunaan bikarbonat untuk koreksi asidosis metbolik pada DKA masih kontroversi1,6,9. Asisdosi biasanya membaik dengan teraphy insulin dan hambatan metabolisme keton. Dan biasanya bikarbonat tidak diperlukan2,12. Bikarbonat diberikan hanya bila PH sudah sangat rendah, dan kapan bikarbonat diberikan masih banyak perbedaan diantara ahli.Young KK(1997) bikarbonat diberikan bila PH< 7,15. dan dihentikan bil aPH mencapai 7,2. Chritine (1995) menganjurkan bikarbonat diberikan bila PH < 7,0. Harus diwaspadai bahwa pemberian bikarbonat tidak banyak membantu memperbaiki keadaan pasien14. Pemberian bikarbonat harus dimonitor ketat karena dia berefek inotropik, membuat ekstraksi oksigen oleh jaringan menurun sehingga lebih assidosis, depresi SSP dan hipokalemi1,2,6,12,14.
Dilaporkan kasus:
Seorang laki-laki, 47Th dengan koma DKA.
Riwayat penyakit sekarang: 1 mg SMRS OS dirawat di RS MW Magelang dengan DM. Satu hari SMICU dirujuk ke RSS dengan penurunan kesadaran. Pukul 15.00, OS dikonsulkan ke ICU dengan DKA + Shock.
RPD: Riwayat DM tidak diketahui.
KU : Koma, GCS: 2-3-3; VS: T=73/30 mmHg, N= 180x/m; R=48 x/m dalam, s=afebris,
K : Anemia (-), Icterus (-), Cyanotik (+), pupil isokor f 2 mm, RC= +/+
L : JVP tidak , lmn. Tidak teraba
Th. : C= S1, S2 murni, mur-mur (-);
P= Vesikuler normal, Rh/Wz -/-
Abd. : supel, H/L ttb.
Ext. : edema (-)
Kulit : kering, kesan turgor ¯¯.
Lab. : 15:30 PH : 6,911; pCO2: 18,0; pO2: 174,2; BE: -24; HCO3-: 3,0; SaO2:98
18:00 PH : 7,112; pCO2: 19,9; pO2: 177,4; BE: -23; HCO3-: 3,6; SaO2:98,6
21:00 PH : 7,221; pCO2: 21,0; pO2: 187,2;BE: -18,6;HCO3-: 6,6; SaO2:99,6
GDR (15:30) : 521 ; 19:00 : 586; 23:00 : 405
DL = Hb: 13,9; AL: 15,2; AE: 4,87; AT: 115; Ht: 48,1
Na+/K+/Cl+ = 141/2,1/123
BUN: 74; Cr.: 3.65
CVP = 0
Dx. : koma DD: DKA, hiperglikemi, Insufisiensi Renal, Hypokalemia.
Tx : Pasang CVP
guyur NaCl 2.000 cc/ 1jam pertama.
Fortum 2 x 1g
Neurobion 1 x 500
RI sliding scale tiap 1 jam
Bicnat (15:30 = 100 mEq; 19:30 = 100 mEq)
Lasix 3 x 20 mg
Balance cairan : +1.850 (Nacl 5050 cc; Urin Output : 2.200; IWL: 1.000)
Hari ke I
KU : stationer, GCS: 4-5-4
VS : S: 109 – 121; D: 68 – 84; N: 98 – 116; RR: 20 – 24 …
CVP : 5 – 6; jam 05:00 :+ 3 à dilakukan fluid chalangen 200 cc
Lab. : PH : 7,368; pCO2: 37,5; pO2: 194,8;BE: -3,6;HCO3-: 20,8; SaO2:99,8
SGOT/PT: 84/38; Urea/Cr. : 124/2,66; Na/K/Cl : 168/ 2,5/ 135
Hb/AL/AT : 14,3/ 12,8/ 78
GDR:PKl/Hsl :06/262; 09/312; 11/286; 18 /697; 21/260; 23 /631
Masalah:
- Glukosa darah tidak terkontrol (bergejolak)
- Hipernatremia
- Hipokalemia
- Gelisah
- Insufisiensi Renal
- Keton urin dan darah tidak bisa diperiksa
Tx. :
- Fortum 2 x 1g
- losec 1 x 1 amp.
- Neurobion 1 x 500 amp.
- Lasix 3 x 20
- Insulin sliding scale
- Balance cairan : Diet cair : 2.000 kal/ 1.300 cc; D5 ½ S :
Input | Output | |||
Dari : | cc | kal | Dari : | cc |
Diet cair | 1.300 | 2.000 | Urin | 6800 |
Martos 10% | 750 | 300 | IWL | 1000 |
NaCl | 1.000 | 0 | ||
D5 ½ S | 1.500 | 300 | ||
KaEn1B | 1.500 | |||
D5 | 2.000 | 400 | ||
Jumlah | 8.050 | Jumlah | 7800 | |
Balance cairan : | +.250 |
]
Hari ke 2
Keadaan umum stasioner. GCS 3.4.5.
Tanda Vital S.106 – 155mmHg D. 61 – 89 mmHg, N 107 – 124x/m; RR 28 – 40 x/m; suhu 38,5 – 39,60 C.
Thorak Pulmo ronkhi kasar +/+; WhZ -/-; vesikuler /; slame produktif purulent
Laboraturium :
AGD Pkl 07.00/ 7,403/33,8 /98,6/ -4,1/ 21,4/ 98,3
15.00/ 7,512/ 26/ 88,1/ -2,5/ 23,7 / 93,3
22.00/ 7,511 /27,3/ 102,1/ -0,1/ 21,0/ 98
Elektrolit : Na+ / K+ / Cl- : 172/3./124
Pkl 11. 160/ 2.9 /’ 121
GDR pkl/hsl 9/645/; 11 / 629/; 13 /623; 15/614; 17/ 501; 19/455; 23/ 441; 24/437; 03/ 548.
Ro” fotho thorak : corakan vaskuler bertambah, sesuai gambaran bronko pneumoni.
Pkl 24.00 kejang – kejang. Intubasi on ventilator CMV10/ RR 10 /MV 8l/m /FiO2 40% /PEEP2
Masalah
· Hiperglikemi tak terkontrol
· Hipernatremi
· Febris
· Bronkhopneumoni
· Penurunan kesadaran
· Alkalosis
Balans Cairan ( + 1300)
Intake enteral 1200 cc out put urin 3400CC
Martose 250 cc IWL 1000CC
Ka EN 1B 3000 cc
D5% 2000cc
Therapi diteruskan
Rencana kultur darah, urin, sputum.
Hari Ke 3
Daftar Pustaka
1. Christine R. Schneyer; Gary J. kerkchet. The critically ill diabetic in text book of critical care 3th Ed. Edited by William C Shoemaker; W>B> Saunders Co. Philadhelpia 1995; P. 1081 – 1091
2. Daniel W. Foster Diabetis melitus in Horrison pricipal of internal medicineI 11th. ED. Edited by Eugene Braunwald et al. Mc Graw Hill Book CO. Newyork. 1987. ch 327. P 1778 – 1798.
3. Perkeni. Konsensus nasional pengelolaan Dibetis melitua di indonesia 1998
4. Kendro Wartono Consensus on the management of diabetis melitus pada Surabaya diabetic up – date VI hal 13 – 14 1999.
5. Askandar Tjokro Prawiro majkalah lengkap Surabaya diabetic Up – date VIII tahun 2000.
6. K.K. Young; Te Oh. Diabetic Emergencies in Intensive Care Manual 4 th Ed. Edited by Te oh. Butterworh – Heinemann, Oxford.1997. P. 443 – 449
7. Perkeni Konsensus nasional pengelolaan Diabetis melitus type I di Indonesia 2000.
8. Arthur G. Guyto; Jhon E. Hall; Insulin, Glucagon and diabetis melitus in Text Book of Medical Physiology 9th. ED. WB. Saunders Co. Philadelphia, 1996. Ch 78. P. 971 – 983
9. Yunus Tanggo; Sibuea, W.H. Diabetik Keto Asidosis (DKA) dalam seminar sehari kedaruratan medik HUT RSU FK UKIke 22. Jakarta 1996
10. Roger H. Unger; Daiel W Foster. Diabetis Melitus in William Text Book of Endocrinology 7th ED. Edited by Jean D. Wilson; Daniel W Foster. WB. Saunders Co. Philadhelpia. 1985 P. 1018 – 1067.
11. Ramzi S. Cotran; Vinay Kumar; Stanley L. Robbin. The Endocrine Pancreas in Robbins Pathology basis of disease 4th ED. WB. Saunders Co. Philadhelpia. 1989. P. 992 – 1008.
12. Elli Ipp. Diabetis melitus & The Critically Ill Patient in Current Critical Care Diagnosis & Treatment 1st ED. Edited By Fredeic S. Bongard; Darryl Y. Sue. Lange Medical Book Connecticut. 1994 ch. 33. P 603 – 617.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar